Minggu, 27 Februari 2011

Ada’, Qadha' dan I’adah dalam Shalat

Ada’, Qadha' dan I’adah dalam Shalat

Sebagaimana firman Allah bahwa shalat bagi orang mukmin adalah kewajiban yang waktunya sudah ditentukan. Orang mukmin sendiri dalam menjalankan kewajiban itu terkadang karena suatu hal yang sangat mendesak tidak dapat menjalankan sesuai alokasi waktu yang ditentukan syariat. Dari sinilah kemudian muncul istilah ada’, qadha’ dan i’adah.

Dalam pengertiannya shalat ada diartikan dengan menjalankan shalat dalam batas waktu yang telah ditentukan. Termasuk dalam ‘ada menurut madzhab Hanafiyah apabila seseorang mendapatkan kira-kira sekedar takbiratul ihram di akhir waktu shalat. Sementara Syafi’iyyah berpendapat bahwa seseorang itu shalat ‘ada apabila mendapatkan satu rakaat sebelum berakhir waktunya.

Sedangkan qadha’ diartikan dengan melaksanakan shalat di luar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak memunginkan dalam pelaksanaan shalat tersebut.

Ditinjau dari sisi hukum, sebenarnya antara qadha’ dan ada’ adalah sama, yaitu sma-sama wajib sebagaimana diungkapkan al-Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya, fawatikhu rakhamut bahwa kewajiban itu ada dua yaitu ada’ dan qadha’. Hanya saja pelaksanaan dan nilainya yang berbeda. Yang satu dilaksanakan tepat waktu, yang satu tidak tepat waktu, sehingga berdosa. Tetapi terlepas berdosa atau tidak, qadha’ adalah tindakan indisipliner yang akan mengurangi nilai seorang hamba dengan Tuhannya.

Lalu bagaimana dengan i’adah?
Menurut istilah para fuqaha, ‘iadah diartikan dengan menjalankan shalat yang sama untuk keduakalinya pada waktunya atau tidak. Karena dalam shalat yang pertama terdapat cacat atau ada shalat kedua yang lebih tinggi tingkat afdhaliyahnya.

Shalat i’adah ada yang wajib, tidak wajib dan sunnah. I’adah yang wajib diantaranya apabila seseorang tidak menemukan atau memiliki sesuatu yang mensucikan untuk bersuci (air, debu). Dalam kondisi waktu yang terbatas, ia tetap wajib shalat meski tidak bersuci dan kemudian wajib ‘iadah pada waktu yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bisa dipergunakan untuk bersuci. Hal ini mengingat bersuci adalah syarat shalat. (Fawatikhu Rakhamut: I, 36, Al-Majmu’: 3, 132)

Contoh lain apabila seseorang shalat tidak menghadap kiblat meskipun telah berijtihad kecuali ijtihad itu dengan melaksanakan shalat keempat arah. (al-Majmu’: III, 304). Begitu pula dengan seseorang yang melaksanakan shalat tanpa mengetahui waktu, maka wajib i’adah sebagaimana disampaikan Qadhi Abu Thoyyib dan Abu Hamid al-Ghazali.

Adapun yang tidak wajib i’adah seperti seorang yang tanpa menutup sebagian atau seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan yang sunnah i’adah adalah apabila ada shalat kedua yang lebih afdhal, seperti orang yang sudah shalat sendirian atau berjama’ah. Kemudian dalam waktu yang tidak lama ada jamaah yang lebih banyak, maka ia disunahkan i’adah mengikuti jama’ah yang kedua.

Dengan demikian, shalat i’adah tidaklah seperti shalat ada’ atau qadha’. Pertama, i’adah tidak berfungsi menggantikan shalat sebelumnya, karena pada prinsipnya shalat yang pertama adalah shalat yang sah. Kedua, i’adah ada yang wajib dan ada yang sunah. Hal ini tidak seperti ada’ dan qadha’ yang keduanya sama-sama wajib. Ketiga, shalat i’adah yang belum dilaksanakan, karena pelakunya keburu meninggal dunia, misalnya tidak akan dituntut seperti shalat qadha’ yang belum dilaksanakan.

(KH.MA. Sahal Mahfudh, dialog Dengan Kiai Sahal Mahfudh (Solusi Problematika Umat), Surabya: Ampel Suci dan LTN PWNU Jawa Ti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar